Jakarta, CNBC Indonesia - Obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) tampaknya dijual China belakangan ini. Hal ini cukup menarik mengingat di tengah gejolak di pasar, biasanya aset yang berdenominasi AS akan menjadi investasi yang menarik, termasuk obligasi AS.
Dilansir dari Refinitiv, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun tampak mengalami peningkatan yang begitu tajam khususnya pada 7 April hingga 11 April 2025.
Sebelumnya pada 4 April 2025, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun tercatat di posisi 3,99%. Namun pada 11 April 2025 melonjak menjadi 4,49%.
Dikutip dari CNBC International, kenaikan tajam imbal hasil obligasi pemerintah AS tampaknya memperumit pendekatan Gedung Putih terhadap kebijakan perdagangan.
Pada hari Rabu, mantan Presiden Donald Trump mengumumkan jeda tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara, serta menurunkan tarif menjadi tarif universal sebesar 10%. Namun, China dikecualikan dari jeda ini, dengan tarif AS terhadap impor dari China melonjak menjadi 145%. Sebagai respons, China membalas pada hari Jumat dengan menaikkan tarif atas barang-barang AS dari 84% menjadi 125%.
Meski beberapa pejabat pemerintahan menyatakan bahwa pembalikan kebijakan ini memang telah direncanakan, lonjakan imbal hasil obligasi kemungkinan memberi tekanan untuk menunda kebijakan tarif lebih lanjut.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS menimbulkan kekhawatiran di kalangan ekonom, karena obligasi AS secara tradisional dianggap sebagai safe haven-tempat aman untuk investasi di saat gejolak keuangan.
"Kenaikan imbal hasil berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi perusahaan, dan tentunya juga bagi pemerintah," ujar Laith Khalaf, Kepala Analisis Investasi di AJ Bell yang diambil dari BBC.
Salah satu alasannya yakni karena melonjaknya biaya pinjaman AS adalah adanya "erosi persepsi obligasi sebagai aset aman."
Selain itu, kekhawatiran terhadap dampak tarif terhadap inflasi dan defisit anggaran pemerintah AS juga menjadi pemicu naiknya imbal hasil.
Alih-alih menjadi tempat perlindungan saat krisis, pasar obligasi AS kini terguncang oleh kebijakan perang dagang dan kekhawatiran fiskal, yang menciptakan tekanan besar terhadap stabilitas keuangan jangka pendek.
Spekulasi China Picu Pelemahan Pasar Utang AS
Pertanyaan masih muncul mengenai siapa saja yang menjual obligasi AS dan dalam skala seberapa besar.
Terdapat spekulasi bahwa negara asing seperti China yang memiliki sekitar US$759 miliar obligasi AS, mungkin mulai menjual kepemilikannya, memicu pelemahan pasar utang AS.
George Saravelos, analis senior di Deutsche Bank, memberikan peringatan tegas:
"Perang dagang ini tidak akan menghasilkan pemenang. Yang kalah adalah ekonomi global secara keseluruhan."
Foto: Japan and China have been the largest foreign holders of US debt for the last two decades
Sumber: Treasury Department
Untuk diketahui, sejak 2014, porsi kepemilikan China terhadap US Treasury cenderung mengalami penurunan. Pada 2014, China memiliki US Treasury sekitar US$1,3 triliun dan terus menurun bahkan tak sampai US$800 miliar pada 2024.
Kemudian pada Januari 2025, China hanya memiliki sebanyak US$760,8 miliar atau senilai Rp 12.758,62 triliun.
China Tidak Bisa Jual US Treasury Terus Menerus
Sejumlah artikel baru-baru ini menunjukkan bahwa para pejabat China mungkin mengurangi pembelian obligasi pemerintah AS. Sangat kecil kemungkinannya China dapat melakukan hal ini dengan cara yang berarti karena hal tersebut hampir pasti akan merugikan Beijing.
China tidak dapat benar-benar "menjadikan senjata" kepemilikannya atas obligasi pemerintah AS. Menjual obligasi akan menciptakan kekacauan di pasar dan merugikan nilai kepemilikan China sendiri, hal ini sangat tidak mungkin terjadi.
Pertama, bank sentral AS (The Fed) dapat dengan mudah mengambil tindakan untuk mengatasi volatilitas sementara. Kedua, seperti yang disorot dalam artikel lain di Financial Times edisi yang sama, meningkatnya ketidakpastian justru mendorong investor untuk membeli lebih banyak obligasi pemerintah AS.
Untuk memahami mengapa ancaman China untuk membalas intervensi perdagangan AS dengan mengurangi kepemilikan obligasi justru akan merugikan posisi China sendiri dalam negosiasi perdagangan, mari pertimbangkan berbagai cara yang mungkin dilakukan Beijing untuk mengurangi pembelian obligasi pemerintah AS:
- Beijing dapat membeli lebih sedikit obligasi pemerintah AS dan lebih banyak aset AS lainnya, sehingga aliran modal bersih dari China ke Amerika tetap tidak berubah.
- Beijing dapat membeli lebih sedikit obligasi dan aset AS lainnya, tetapi entitas China lainnya bisa menggantikan dengan membeli lebih banyak aset AS, sehingga aliran modal bersih tetap tidak berubah.
- Beijing dan entitas China lainnya dapat membeli lebih sedikit aset AS dan menggantinya dengan jumlah yang setara dari aset negara maju lainnya, sehingga aliran modal dari China ke AS berkurang, dan aliran modal ke negara maju lain meningkat dalam jumlah yang sama.
- Beijing dan entitas China lainnya dapat membeli lebih sedikit aset AS dan menggantinya dengan aset dari negara berkembang, dengan efek aliran modal ke AS berkurang dan aliran ke negara berkembang meningkat.
- Beijing dan entitas China lainnya dapat membeli lebih sedikit aset AS dan tidak menggantikannya dengan pembelian dari negara lain, sehingga aliran modal bersih dari China ke AS dan ke dunia secara keseluruhan menurun.
Dengan kata lain, jika Beijing mengurangi pembelian obligasi pemerintah AS, dampaknya bagi AS akan netral atau bahkan positif, sementara bagi China sendiri bisa netral atau justru negatif. Ini bukan kebijakan yang tampaknya akan dikejar secara agresif oleh Beijing, dan Washington hampir pasti tidak akan menolaknya.
Bahkan jika Beijing memaksa institusi-institusi seperti People's Bank of China untuk membeli lebih sedikit obligasi pemerintah AS, langkah tersebut tidak bisa dianggap sebagai bentuk pembalasan yang berarti terhadap meningkatnya proteksionisme perdagangan di Amerika Serikat.
Keputusan Beijing tersebut tidak akan berdampak sama sekali terhadap neraca pembayaran AS, atau bahkan justru akan berdampak positif. Dampaknya terhadap suku bunga di AS juga hampir tidak ada, kecuali kemungkinan sedikit penyempitan selisih kredit (credit spreads) untuk menyeimbangkan sedikit kenaikan suku bunga pada aset bebas risiko.
Keputusan itu juga tidak akan berdampak pada neraca pembayaran China, selama neraca pembayaran AS tidak terpengaruh. Jika keputusan tersebut menyebabkan menyempitnya defisit perdagangan AS, hanya ada tiga kemungkinan cara dampak tersebut akan memengaruhi neraca China:
- China dapat mengekspor lebih banyak modal ke negara-negara maju, yang tidak akan berdampak langsung terhadap neraca pembayaran China, tetapi berisiko menimbulkan kemarahan mitra dagang dan memicu pembalasan.
- China dapat mengekspor lebih banyak modal ke negara-negara berkembang, yang juga tidak akan berdampak langsung terhadap neraca pembayaran China, tetapi berisiko tinggi menimbulkan kerugian investasi di luar negeri.
- China bisa saja mengurangi ekspor modalnya ke luar negeri, yang berarti China akan terpaksa menjalankan surplus perdagangan yang lebih kecil, dan dalam kasus China, hal ini hanya bisa dikompensasi melalui meningkatnya pengangguran atau pertumbuhan utang yang jauh lebih cepat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)