Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen positif datang ke deretan emiten perbankan pelat merah karena mendapatkan berkah pengalihan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari pemerintah senilai Rp200 triliun.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa yang secara resmi mengguyur Rp200 triliun kepada lima bank mitra pada Jumat pekan lalu (12/9/2025).
"Ini sudah diputuskan dan siang ini sudah disalurkan ya. Ini kita kirim ke lima bank, (yaitu) Mandiri, BRI, BTN, BNI, BSI. Saya pastikan, dana yang harus dikirim, masuk ke sistem perbankan hari ini," ungkap Purbaya dalam Konferensi Pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (12/9).
Adapun uang tersebut adalah milik pemerintah yang berasal dari saldo anggaran lebih (SAL), selama ini disimpan di Bank Indonesia (BI).
Dengan tambahan likuiditas tersebut, dampak utama yang akan terasa ke perbankan adalah Loan to Deposit Ratio (LDR) akan lebih longgar, sehingga ruang untuk ekspansi kredit semakin terbuka lebar.
Aliran dana murah ini dapat menekan cost of fund, membuat bunga kredit lebih kompetitif, sekaligus mendorong penyaluran pembiayaan ke sektor riil seperti UMKM, infrastruktur, hingga konsumsi rumah tangga.
Bila kredit tumbuh agresif, pendapatan bunga bank otomatis meningkat, yang pada akhirnya menyesuaikan valuasi saham perbankan ke level lebih tinggi.
Likuiditas Lebih Longgar, Kredit Bisa Lebih Agresif
CNBCimengumpulkan data terbaru dari kondisi likuiditas bank HImbara sampai akhir Semester I/2025, kecuali BRIS dan BMRI yang terpantau belum update.
Terlihat dari tabel di bawah ini, BBRI dan BBNI terpantau masih terjaga sehat dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing 84,97% dan 86%, berada di rentang ideal sehingga penyaluran kredit efisien tanpa menekan likuiditas.
Keduanya juga ditopang rasio Current Account Saving Account (CASA) yang relatif tinggi, yakni 65,5% untuk BBRI dan 72% untuk BBNI, menandakan struktur pendanaan cukup kuat dengan dominasi dana murah.
BMRI mencatat LDR paling tinggi, 93,5%, menunjukkan ekspansi kredit yang sangat agresif sehingga ruang likuiditas lebih ketat, meski masih tertolong CASA 72,6% yang menjadi yang tertinggi di antara Himbara.
BRIS juga relatif tinggi dengan Funding to Deposit Ratio (FDR) 89,87% dan CASA 60,67%, artinya likuiditas cukup ketat sementara pendanaan murah masih terbatas dibanding bank besar lain.
Terakhir untuk BBTN menjadi bank dengan kondisi paling berat, ditandai LDR 92,6% dan CASA hanya 49,1%, kombinasi yang membuat likuiditas ketat sekaligus biaya dana lebih mahal.
Catatan untuk penyaluran kredit masih lesu..
Efek dari suntikan likuiditas ini dasarnya memang bisa untuk melonggarkan likuiditas, sehingga penyaluran kredit bisa digenjot lebih ekspansif, tetapi realitanya tentu tidak semudah itu.
Sejak awal tahun, secara industri penyaluran kredit perbankan terus turun. Sebagai catatan, pada Juli 2025 pertumbuhan kredit tumbuh 7,03% secara tahunan (yoy), melambat dari periode bulan lalu yang tumbuh 7,77% yoy, sekaligus menandai laju paling rendah sejak Maret 2022.
Secara rinci, perlambatan pertumbuhan kredit terjadi di seluruh kategori utama: kredit konsumsi tumbuh 8,11% (turun dari 8,49% pada Juni); kredit investasi melambat menjadi 12,42% (dari 12,53%); dan kredit modal kerja hanya tumbuh 3,08% (turun dari 4,45%).
Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit terutama ditopang oleh sektor-sektor berorientasi ekspor, khususnya pertambangan dan perkebunan, serta sektor transportasi, industri, dan jasa sosial.
Pelemahan pertumbuhan kredit mencerminkan turunnya daya beli, menyusutnya kelas menengah, serta meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit.
Di sisi lain, pada Juli 2025, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 7% yoy, mendorong bank untuk lebih banyak mengalokasikan dana ke surat berharga dan memperketat standar penyaluran kredit.
Bila penyaluran kredit meningkat, pendapatan bunga bank otomatis terdongkrak, mendorong kenaikan valuasi saham perbankan.
Profitabilitas Bank Himbara Sejauh ini..
Perlambatan kredit berimbas pada kinerja laba. Sejauh ini, dua dari enam Himbara mencatat kontraksi pertumbuhan laba, BMRI hanya tumbuh single digit, sementara BBTN dan BRIS masih mampu menjaga pertumbuhan laba double digit.
Tren ini tak lepas dari suku bunga tinggi sejak tahun lalu, inflasi, hingga tensi geopolitik global yang memicu keluarnya dana asing.
Perbankan pun memilih strategi konservatif, lebih berhati-hati menjaga likuiditas ketimbang mendorong pertumbuhan kredit.
Namun, masuknya dana SAL Rp200 triliun diperkirakan bisa mengubah cerita. Kebijakan ini memberi tambahan ruang bagi bank untuk ekspansi kredit, memperkuat intermediasi, sekaligus mendukung strategi fiskal ekspansif pemerintah. Dana yang semula mengendap kini dapat "bekerja" menggerakkan sektor produktif dan menciptakan multiplier effect bagi perekonomian.
Di sisi lain, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia yang sudah terjadi empat kali di tahun ini juga diharapkan bisa memicu kembali permintaan kredit. Meski demikian, efektivitas kebijakan tetap bergantung pada pengawasan dan implementasi agar dana benar-benar tersalurkan ke sektor riil, bukan sekadar menumpuk di perbankan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)