Catatan Kritis Terhadap Program Makan Bergizi Gratis

8 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di bawah gemerlap sorotan lampu Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, beberapa waktu lalu, Prabowo Subianto berteriak lantang: "Anak-anak kita akan makan bergizi! Gratis!"

Seluruh pendukung Prabowo dalam Pemilihan Umum Presiden 2024-2029 bersorak menyambut janji itu, seolah menjadi mimpi kolektif bangsa. Sebuah visi mulia tentang masa depan Indonesia yang lebih sehat dan cerdas, dimulai dari perut anak-anak demi menyongsong Indonesia Emas 2045.

Kini, narasi megah itu pelan-pelan berubah bentuk, dari harapan menjadi kelelahan. Dapur umum yang dulu dielu-elukan kini menjadi ladang kerja sukarela tanpa bayaran hingga sempat tutup.

Pengusaha katering mulai mengeluh rugi karena harga yang ditekan tapi kualitas tetap dituntut tinggi. Dan yang paling ironis, anak-anak yang dijanjikan gizi, justru muntah karena makanan yang tidak layak (basi).

Janji politik itu belum sepenuhnya mati, tapi nyawanya kini tergantung pada benang rapuh antara idealisme dan realitas lapangan. Apakah janji ini akan benar-benar terealisasi, atau hanya akan menjadi wacana yang tak terwujud?

Mempertanyakan realisasi janji kampanye MBG
Ketika program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimulai, semua masyarakat berharap ada perubahan nyata. Bahkan, saat kampanye di GBK, Prabowo  berjanji bahwa semua anak Indonesia akan mendapat makanan bergizi, dan tentu saja gratis.

Namun, di lapangan cerita berbeda. Di Kalibata, Jakarta Selatan, dapur yang semestinya menyediakan ribuan porsi makanan untuk anak-anak malah tutup. Polemik tunggakan Rp 1 Miliar pun mengemuka ke publik. Pemilik dapur menuntut pembayaran selama dua bulan yang belum sama sekali dibayarkan.

Janji manis itu kini justru terkesan kosong. Pemerintah seolah hanya membicarakan angka-angka besar tentang target stunting yang ingin diselesaikan pada 2045, namun realitasnya di lapangan sangat jauh dari harapan.

Pemerintah mengeklaim uji coba MBG di beberapa daerah berjalan "sukses". Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Di Sukoharjo, 40 siswa mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan yang didistribusikan dalam program ini.

Di Nunukan, Kalimantan Utara, kasus serupa terjadi, dengan sejumlah anak dirawat akibat mengonsumsi makanan basi yang tidak sampai memenuhi standar gizi (Widyastuti, 2025).

Kejadian-kejadian seperti ini jelas menunjukkan bahwa gagal merencanakan dengan matang. Program besar seperti ini seharusnya didahului dengan penelitian yang mendalam tentang kebutuhan dan kapasitas distribusi.

Namun yang terjadi, distribusi makanan dilakukan tanpa perhatian pada waktu penyimpanan, kualitas bahan baku, dan keamanan pengolahan.

Pemerintah tentu saja tidak ingin disalahkan di hadapan publik. Dalam setiap pidato dan konferensi pers, mereka tetap bersikeras MBG adalah langkah besar menuju Indonesia bebas stunting pada 2045. Namun, di lapangan, warga merasa lebih seperti mereka menjadi kelinci percobaan tanpa jaminan yang jelas.

Prabowo selaku presiden sudah memberikan tanggapan mengenai kasus makanan basi dalam program MBG. Dalam rapat kabinet pada 5 Mei 2025, beliau mengonfirmasi adanya insiden keracunan yang melibatkan sekitar 200 orang dari lebih 3 juta penerima manfaat. Namun, beliau menekankan bahwa persentase kasus tersebut hanya sekitar 0,005% dari total penerima, yang dianggap menunjukkan tingkat keberhasilan program hingga 99,99%

Pernyataan Prabowo  soal insiden ini tampak lebih sebagai upaya meredam kritik ketimbang refleksi serius atas kegagalan di lapangan. Dengan menyoroti bahwa hanya 0,005% dari total penerima yang terdampak, pemerintah terlihat ingin mengemas masalah ini sebagai hal kecil, meskipun kenyataannya ratusan orang mengalami keracunan. Di balik statistik itu, ada nyawa dan kepercayaan publik yang dipertaruhkan, bukan sekadar angka.

Klaim bahwa makanan yang terkontaminasi berhasil dicegah sebelum dikonsumsi masyarakat terasa janggal ketika di saat bersamaan ada bukti keracunan massal. Ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang dijanjikan masih jauh dari andal. Pernyataan itu justru mempertegas bahwa pengawasan masih bocor dan evaluasi belum menyentuh akar masalah.

Lebih jauh, menyalahkan budaya makan dengan tangan sebagai salah satu penyebab keracunan memperlihatkan kecenderungan menyalahkan rakyat. Padahal, makan dengan tangan adalah tradisi yang sudah mengakar dan tidak serta-merta berbahaya jika sanitasi dijaga. Menyulut narasi semacam ini justru berisiko menciptakan stigma dan mengalihkan fokus dari ketidaksiapan sistem logistik negara.

Keseluruhan pernyataan Prabowo cenderung menampilkan keberhasilan dengan kacamata elitis dan sempit. Program MBG bukan sekadar proyek politik, ia menyangkut hak dasar anak-anak atas makanan yang layak. Maka ketika terjadi kegagalan, solusinya bukan dengan menyuguhkan persentase yang meninabobokan, tetapi membongkar akar persoalan dan memperbaiki sistem dari dalam.

Relawan terabaikan, makanan terbuang
Masalah lain yang muncul adalah keterlambatan pembayaran kepada relawan. Di Kalibata, dapur yang disiapkan untuk memasak makanan gratis terpaksa tutup karena dana yang dijanjikan pemerintah tak kunjung cair.

"Kami sudah memasak, tetapi tak bisa mengirimkan makanan karena tidak ada biaya untuk pengoperasian dapur," kata relawan lain. Padahal, dapur itu dibuka untuk membantu anak-anak yang membutuhkan makanan bergizi, namun justru terhenti karena masalah anggaran (Suryadi, 2025).

Hal serupa terjadi di daerah lain. Pemerintah seolah mengabaikan para relawan yang bekerja keras untuk menjalankan program ini. Akibatnya, banyak makanan yang terbuang sia-sia, sementara anak-anak yang seharusnya mendapat manfaat dari program ini justru tidak mendapatkan apa-apa.

Ladang korupsi terbuka lebar
Kekhawatiran terhadap program MBG ini semakin meluas, terutama ketika sejumlah ahli mulai menyuarakan peringatan bahwa program ini bisa dengan mudah berubah menjadi ladang korupsi. Dengan anggaran jumbo mencapai Rp 400 triliun, tapi minim pengawasan, celah untuk penyalahgunaan terbuka lebar.

Dari pengadaan bahan makanan, pencairan dana, hingga mekanisme distribusi di daerah, semuanya berpotensi jadi titik rawan jika tak diawasi dengan ketat.

Muhamad Saleh, ekonom dari Celios, menyuarakan keprihatinan tajam. Ia menyebut bahwa anggaran sebesar itu, bila dikelola tanpa audit terbuka dan sistem transparansi yang jelas, sangat rentan diselewengkan.

"Kalau pengawasan lemah, yang diuntungkan bukan rakyat, tapi mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan," ujarnya lugas. Dalam ketiadaan kontrol, janji makan bergizi bisa berubah jadi bancakan politik.

Ekonomi lesu, program mahal
Di tengah tekanan ekonomi yang kian berat, pemerintah justru memaksakan program sosial berskala besar ini. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 4,87% pada kuartal pertama 2025, angka yang lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

Sementara itu, inflasi terus naik dan aktivitas di sektor produktif mulai menunjukkan tanda-tanda stagnasi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk meluncurkan program dengan beban anggaran begitu besar?

Sejumlah ekonom mempertanyakan efektivitas MBG dalam konteks fiskal yang terbatas. Program ini dinilai dapat menguras anggaran negara tanpa memberikan dampak nyata dalam jangka pendek. Semasa hidup, Faisal Basri, ekonom senior, menilai bahwa fokus pemerintah seharusnya diarahkan pada sektor-sektor yang lebih produktif.

Belajar dari pengalaman negara lain
Lihatlah pengalaman negara-negara yang lebih dulu mengimplementasikan program serupa. Brasil, misalnya, dengan Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) yang sudah berjalan sejak 1955, berhasil memberikan makanan bergizi kepada anak-anak di sekolah, berkat kemitraan dengan petani lokal dan sistem pengawasan yang ketat.

Kenya pun memulai program serupa dengan melibatkan masyarakat setempat untuk mengelola distribusi makanan bagi anak-anak di sekolah-sekolah.

Meski begitu, kedua negara ini tidak luput dari masalah besar, terutama ketergantungan pada dana luar dan masalah distribusi yang sering terlambat. Ini menunjukkan bahwa tanpa pengelolaan yang transparan dan keberlanjutan pendanaan, program semacam ini bisa dengan mudah gagal.

Di sisi lain, Indonesia yang semangatnya tinggi justru terjebak dalam kekacauan yang bisa diprediksi. Program MBG yang diharapkan menjadi solusi nyata kini justru menghadapi masalah logistik, distribusi yang berantakan, dan kualitas makanan yang jauh dari harapan.

Makanan basi, keterlambatan distribusi, serta pengelolaan yang lemah telah menciptakan ketidakpastian yang hanya memperburuk kondisi. Kenyataan ini tidak hanya merusak kredibilitas pemerintah, tetapi juga memperpanjang masalah gizi buruk yang sudah seharusnya dapat diatasi.

Indonesia, yang seharusnya bisa belajar dari Brasil dan Kenya, malah menunjukkan bahwa pengelolaan yang buruk dan lemahnya pengawasan bisa menggagalkan suatu program besar. Jika Brasil berhasil melibatkan petani lokal dalam menyediakan makanan berkualitas, Indonesia tampaknya masih terhambat oleh koordinasi yang buruk antar lembaga dan kurangnya dukungan kepada sektor lokal.

Transparansi dan pengawasan yang ketat, yang menjadi kunci keberhasilan di negara lain, malah terbukti minim di Indonesia, yang berujung pada distribusi makanan yang tidak layak konsumsi.

Apa yang dijanjikan dengan gegap gempita kini terancam menjadi beban bagi rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya segera melakukan evaluasi mendalam dan memperbaiki banyak aspek dalam pelaksanaan MBG, mulai dari pengawasan distribusi, kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat, hingga alokasi dana yang lebih transparan dan tepat sasaran.

Tanpa perbaikan yang nyata, program ini hanya akan menjadi ladang potensi korupsi dan ketidakadilan, alih-alih menjawab masalah kelaparan dan gizi buruk yang mengakar di Indonesia. Jika pemerintah tidak segera bertindak tegas, janji tersebut akan terhanyut dalam arus kegagalan yang hanya menyisakan kekecewaan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |