Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi pedagang obat-obatan dan alat kesehatan (alkes) Pasar Pramuka, Jakarta Pusat buka-bukaan soal kondisi para pedagang terkini. Terutama di tengah kenaikan dolar Amerika Serikat (AS) dan perang tarif AS-China. Belum lagi tekanan akibat munculnya marketplace.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka Yoyon mengatakan, meski tampak ramai pelanggan, tetapi kondisi sebenarnya memprihatinkan.
"Kalau dilihat sekilas memang ramai, tapi sejatinya pedagang sedih karena sebenarnya sepi, penjualan turun drastis," kata Yoyon kepada CNBC Indonesia, Selasa (15/4/2025).
Adapun kondisinya, omzet penjualan pedagang obat dan alkes di pasar tersebut turun drastis.
"Kalau dibilang penjualan turun drastis, kami belum bisa pastikan, tetapi jika dikisar bisa mencapai 70%. Pedagang dulu bisa bawa pulang Rp 10 juta, sekarang boro-boro segitu, paling Rp 3 juta," ungkap Yoyon.
Yoyon mengatakan penyebabnya yakni karena daya beli masyarakat sedang lesu, membuat perputaran uang di masyarakat pun minim dan cenderung lebih kencang di luar negeri.
Terkait dampak dari banyaknya penjualan obat di marketplace, pihaknya mengatakan benar dan membuat penjual obat di pasar terdampak. Tetapi dia tetap mengatakan sumber masalah berasal dari daya beli masyarakat yang lesu.
"Kalau sepinya gegara marketplace sih pasti ada. Cuma yang paling besar penyebabnya ya karena daya beli lesu, orang-orang kalau nggak mau beli juga pasti di marketplace lesu juga, apalagi kita, pasti kedampak banget," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mengatakan dampak dari kenaikan dolar Amerika Serikat (AS) juga terasa ke pedagang obat dan alkes. Namun dampak tersebut bersifat tidak langsung.
"Kalau masalah dolar naik, tentu kami berdampak, tapi dampaknya tidak langsung dirasa, butuh beberapa bulan bahkan bisa dalam hitungan tahun baru kami terasa dampaknya," katanya lagi.
Dampak tidak langsung tersebut terjadi karena mayoritas bahan baku obat-obatan merupakan bahan impor, yakni sekitar 80%, dan pabrikan juga tidak bisa langsung membeli bahan baku. Butuh beberapa bulan bagi produsen untuk menyiapkan bahan baku, ditambah proses pembelian tentunya memiliki rentang waktu yang cukup panjang karena ada beberapa tahap.
"Kalau dampak dolar naik tidak langsung ya, ketika dolar naik langsung pedagang bilang kedampak ini itu, butuh beberapa bulan hingga setahun terlihat jelas dampaknya, tidak seperti beli emas yang ketika dolar naik, langsung harga emas naik, kalau di obat-obatan tidak begitu," terang Yoyon.
Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah serius menanggulangi ini, terutama berkaitan dengan daya beli masyarakat, agar perputaran uang kembali normal.
Yoyon juga meminta kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan potensi produksi dalam negeri, agar produsen obat di Indonesia tidak lagi terlalu bergantung terhadap bahan baku impor.
"Kami minta kepada pemerintah untuk serius membenahi masalah daya beli ini, karena dampaknya cukup besar, dan kami juga meminta agar produksi lokal lebih ditingkatkan supaya kita tidak bergantung lagi ke produk impor," pungkas Yoyon.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Prospek Bisnis Consumer di Tengah Penurunan Daya Beli
Next Article Video: Peran Rumah Sakit Wujudkan Mimpi RI Kembangkan "Health Tourism"