Beda Jauh Sama RI! UMR Singapura Bisa Tembus Rp77 Juta di 2026

7 hours ago 7

Susi Setiawati,  CNBC Indonesia

07 December 2025 13:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Laporan terbaru Vulcan Post memperkirakan median salary di Singapura akan tembus 6.000 dolar Singapura per bulan pada 2026. Dengan kurs Rp12.879,52 per dolar Singapura, angka itu setara sekitar Rp77,27 juta per bulan.

Proyeksi tersebut dihitung dari laju kenaikan historis gaji bulanan bruto pekerja Singapura yang rata-rata tumbuh 3,9% per tahun dalam satu dekade terakhir. Perhitungan ini juga merujuk pada data dalam laporan awal Kementerian Tenaga Kerja Singapura (Ministry of Manpower/MOM) untuk tahun 2025, yang dirilis sebelum laporan lengkapnya dipublikasikan pada awal 2026.

Meski masih bersifat preliminary atau pendahuluan, laporan MOM menunjukkan tren kenaikan gaji yang solid. Gaji median nasional Singapura pada 2025 tercatat mencapai 5.775, dolar Singapura naik dari 5.500 dolar Singapura pada 2024. Kenaikan tersebut setara 5% secara nominal atau 4,3% secara riil, terbantu oleh inflasi yang masih sangat rendah.

Sementara itu, bank sentral Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 berada di kisaran 1%-3%.

Namun, secara historis, pertumbuhan pendapatan masyarakat cenderung berada sedikit di atas pertumbuhan PDB. Ditambah lagi, sebagian sektor belum sepenuhnya pulih dari pandemi, sehingga masih terdapat ruang bagi gaji untuk naik lebih tinggi.

Jika proyeksi tersebut tercapai, maka setengah penduduk bekerja di Singapura, baik warga negara maupun permanent resident, akan berpenghasilan minimal 6.000 dolar Singapura per bulan atau lebih dari Rp77 juta per bulan.

Dalam perspektif jangka panjang, angka ini mencerminkan lonjakan hampir 50% dibandingkan satu dekade lalu, ketika gaji median Singapura masih sekitar 4.000 dolar Singapura. Bahkan, hanya butuh empat tahun bagi Singapura untuk naik dari 5.000 dolar Singapura pada 2022 ke prediksi 6.000 dolar Singapura pada 2026.

Perlu dicatat, angka-angka ini merupakan gaji bruto, bukan gaji bersih. Di Singapura, potongan wajib seperti kontribusi CPF (pensiun, perumahan, dan kesehatan) memang mengurangi take-home pay.

Namun alasan gaji selalu dilaporkan dalam bentuk bruto adalah karena seluruh komponen tersebut tetap dihitung sebagai bagian dari kompensasi total yang diterima pekerja. Uang itu tetap "milik" pekerja, hanya dialihkan oleh negara untuk keperluan wajib yang pada akhirnya mengurangi beban pengeluaran pribadi di masa depan.

Dengan demikian, meski potongan cukup besar, struktur kompensasi pekerja Singapura tetap kuat dan memberi keunggulan pada daya beli penduduknya dibanding negara-negara lain.

Bagaimana dengan Indonesia?

Melihat proyeksi gaji minimum di Singapura tahun depan bisa mencapai Rp77 juta per bulan, tentu terlihat sangat menggiurkan, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.

Rata-rata UMP Indonesia 2025 berada di sekitar Rp3,31 juta per bulan, dengan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan upah tertinggi yakni Rp5,4 juta. Artinya, gaji pekerja di Singapura bisa 14 hingga 23 kali lebih besar dibandingkan rata-rata pekerja Indonesia.

Namun, kesenjangan besar tersebut perlu dilihat dalam konteks biaya hidup. Singapura dikenal sebagai salah satu negara dengan biaya hidup tertinggi di dunia, khususnya untuk komponen sewa tempat tinggal, transportasi, hingga layanan kesehatan.

Untuk pekerja lajang, sewa kamar apartemen saja bisa berkisar antara 900-1.500 dolar Singapura per bulan, atau sekitar Rp11,5 juta-Rp19,3 juta. Di lokasi yang lebih sentral, biayanya bahkan lebih tinggi.

Sementara itu, di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta atau Surabaya, sewa kamar berkisar Rp1,5 juta-Rp4 juta per bulan, atau jauh lebih rendah dari standar Singapura.

Dari sisi konsumsi harian, makan di kedai biasa di Singapura rata-rata 5-7 dolar Singapura per sekali makan (Rp64.000-Rp90.000), sedangkan di Indonesia harga makan sederhana masih berada di kisaran Rp15.000-Rp30.000.

Indonesia bisa dibilang memiliki struktur biaya hidup yang jauh lebih rendah, membuat nominal upah dapat "bernapas" lebih lega bila dikaitkan dengan daya beli.

Meski begitu, tetap saja ada fakta menarik, bahkan jika disesuaikan dengan daya beli (purchasing power), pekerja Singapura masih unggul jauh berkat produktivitas yang tinggi, industri bernilai tambah besar, dan struktur ekonomi digital yang matang.

Dengan kata lain, bukan hanya angka nominal yang besar, tetapi kualitas ekonomi dan peluang karier di Singapura juga berada pada level berbeda.

Perbandingan gaji antara negara yang bertetangga ini, Singapura dan Indonesia membuat perbedaan kualitas hidup terasa bukan hanya dari nominal gaji, tetapi dari seberapa besar "sisa uang" setelah kebutuhan essential dipenuhi.

Di Singapura, meskipun biaya hidup tinggi, struktur pendapatan yang juga tinggi membuat penduduknya memiliki purchasing power yang kuat. Di Indonesia, kenaikan UMP yang moderat belum sebanding dengan kenaikan biaya hidup di perkotaan. Karena itu, bila dibandingkan secara relatif, pekerja Singapura tetap memiliki daya beli lebih besar dan fleksibilitas finansial yang jauh lebih baik.

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/luc)

Read Entire Article
Photo View |