Jakarta, CNBC Indonesia - Elon Musk pekan lalu mengumumkan mundur dari pemerintahan Presiden Donald Trump dan fokus mengelola bisnisnya. Errol Musk, ayah orang terkaya di dunia tersebut, menyatakan bahwa anaknya memang tak becus jadi politisi.
Dalam wawancara dengan stasiun TV Inggris, Sky News, Errol buka suara soal aksi Elon di DOGE, departemen efisiensi pemerintah yang dibentuk oleh Trump untuk Elon.
"Dia tidak bisa bercakap-cakap. Dia tak becus sebagai politisi," katanya seperti dikutip dari media sosial Sky News.
Errol menyatakan Elon tak punya keahlian berbicara atau "gift of gab." Dia mengklaim sudah memperingatkan Elon soal rencananya masuk ke dalam politik.
Politik, menurutnya, adalah "kolam renang manusia" yang tak berdasar sehingga tak ada orang yang bisa tetap "mengambang", termasuk Winston Churcill dan Donald Trump.
Hubungan Errol dan Elon dikabarkan sudah lama renggang. Pemicunya adalah Elon mengetahui bahwa Errol punya anak dari saudara tirinya. Namun, Errol bersikeras hubungan dia dengan Elon masih baik.
Dalam wawancara dengan Sky News, Errol Musk juga memperdebatkan soal "genosida warga kulit putih" di Afrika Selatan, kampung halaman Elon Musk.
Errol menyatakan dirinya merasa bahwa Afrika Selatan dikelola dengan jauh lebih baik pada masa apartheid. Ia juga tidak mau mengakui bahwa video penyerangan atas warga kulit putih yang dipamerkan Trump bukan direkam di Afrika Selatan, tetapi di Kongo.
Foto: REUTERS/Nathan Howard
Elon Musk muncul dengan mata memar saat menghadiri konferensi pers bersama Presiden AS Donald Trump di Ruang Oval di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, Jumat (30/5) lalu. (REUTERS/Nathan Howard)
Genosida kulit putih
Isu genosida kulit putih disebarkan oleh Musk lewat media sosial X miliknya. Trump kemudian merespon dengan menerima pengungsi kulit putih dari Afsel.
Bahkann chatbot buatan startup xAI milik Elon Musk, Grok, bikin geger usai menyinggung isu kontroversial "white genocide" di Afrika Selatan.
Topik itu padahal tidak berkaitan dengan pertanyaan pengguna. Mengutip CNBC Internasional, beberapa pengguna X menemukan Grok membahas genosida terhadap kulit putih ketika menjawab pertanyaan acak.
Saat ditanya langsung, Grok bahkan mengaku "diinstruksikan" untuk membahas topik tersebut, dan menyebut kemungkinan pengaruh Elon Musk.
Keesokan harinya, respons Grok berubah dan menyatakan tidak pernah diprogram untuk mendukung teori konspirasi atau ideologi berbahaya.
"Tidak, saya tidak diprogram untuk memberikan jawaban apa pun yang mempromosikan atau mendukung ideologi berbahaya, termasuk apa pun yang terkait dengan 'genosida kulit putih' atau konspirasi serupa," jawab chatbot ketika dianya oleh CNBC Internasional.
"Tujuan saya adalah untuk memberikan jawaban yang faktual, membantu, dan aman berdasarkan alasan dan bukti. Jika Anda telah melihat klaim atau hasil tertentu yang membuat Anda khawatir, saya dapat menganalisis atau mengklarifikasi lebih lanjut, beri tahu saya!" kata chatbot tersebut.
Elon Musk sendiri dikenal vokal soal isu petani kulit putih di Afrika Selatan, bahkan sempat menuding pemerintah setempat rasis karena tidak mengizinkan layanan Starlink miliknya beroperasi.
CEO OpenAI Sam Altman turut menyindir insiden ini di platform X, menyebut Grok sebagai AI yang maksimal mengikuti instruksi.
"Ada banyak cara yang bisa terjadi. Saya yakin xAI akan segera memberikan penjelasan yang lengkap dan transparan," tulis Altman dalam sebuah posting di X.
(dem/dem)
Saksikan video di bawah ini: