Bank Syariah dan Visi Ekonomi Umat

6 hours ago 6

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sudah lebih dari tiga dekade sejak bank syariah hadir di Indonesia. Dari awal yang sederhana pada tahun 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, kini perbankan syariah telah tumbuh menjadi bagian penting dari sistem keuangan nasional. Bank syariah bukan sekadar lembaga keuangan dengan label religius. Ia lahir dari cita-cita besar untuk menghadirkan sistem ekonomi yang adil, beretika, dan memberdayakan.

Bank syariah hadir tidak hanya sebagai alternatif perbankan konvensional, melainkan harus mampu menjadi pilar penting dalam pengembangan ekonomi umat. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam yang melarang riba, gharar, dan maysir.

Sebagai gantinya, bank syariah menerapkan sistem bagi hasil dan akad-akad lainnya yang sesuai dengan syariah. Kehadiran bank syariah ialah untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.

Perkembangan bank syariah di Indonesia cukup signifikan. Apabila pada tahun 1992 jumlah bank syariah hanya satu, maka pada per Juni 2025 ini telah terdapat 14 bank umum syariah dan 19 unit usaha syariah. Jumlah aset perbankan syariah pun berkembang cukup pesat, saat ini jumlah aset bank syariah telah mencapai 942,5 triliun atau setara dengan 7,35% pangsa pasar perbankan nasional.

Pertanyaan yang mengemuka adalah dengan semakin berkembangnya industri perbankan syariah ini apakah telah berdampak dalam pengembangan ekonomi umat? Berdasarkan data yang didapat dari Statistik Perbankan Syariah Juni 2025, porsi pembiayaan terbesar di bank syariah masih pada sektor konsumsi, yaitu sebesar 344,81 triliun.

Sedangkan pembiayaan modal kerja dan investasi hanya sebesar 135,59,91 triliun dan 166,11 triliun. Jika ditelusuri lebih lanjut, pembiayaan yang diperuntukkan untuk UMKM hanya sebesar 43,13 triliun atau setara dengan 6,68% dari total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Jika merujuk pada data di atas menunjukkan bahwa masih sedikit porsi pembiayaan yang dialokasikan untuk sektor UMKM terutama sektor usaha mikro dan kecil.

Padahal seharusnya bank syariah dengan visi keumatan yang diembannya dapat memberikan perhatian khusus pada sektor UMKM yang seringkali kurang mendapatkan akses pembiayaan ke bank konvensional. Melalui skema pembiayaan yang adil dan berbasis bagi hasil, bank syariah dapat membantu UMKM untuk berkembang dan memberikan dampak positif bagi ekonomi umat.

Istilah ekonomi umat sering muncul dalam pidato, seminar, dan wacana publik, tapi maknanya kadang kabur. Pada hakikatnya, ekonomi umat adalah sistem ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai Islam yaitu keadilan, kebersamaan, dan keberkahan. Ekonomi umat tidak memisahkan antara aspek moral dan material, antara ibadah dan muamalah. Prinsipnya sederhana yaitu ekonomi bukan hanya tentang "berapa banyak kita untung", tapi "seberapa besar manfaat kita bagi sesama".

Visi ekonomi umat menempatkan keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif di atas kepentingan individu. Dalam konteks modern, visi ini harus diterjemahkan ke dalam sistem keuangan yang inklusif-yang tidak hanya melayani mereka yang sudah "bankable", tetapi juga mengangkat yang belum terjangkau lembaga keuangan formal seperti para petani, nelayan, pedagang kecil, dan pelaku usaha mikro.

Sayangnya, realitas belum sepenuhnya demikian. Akses keuangan syariah masih sangat terbatas. Tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan syariah di Indonesia berdasarkan survei OJK 2025 masih rendah yaitu 43,42% dan 13,41%. Angka ini memang tumbuh, tapi masih jauh dari potensi yang sesungguhnya di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Oleh karenanya, bank syariah memiliki peran penting pula dalam meningkatkan inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau oleh layanan perbankan konvensional. Dengan berbagai produk yang sesuai dengan prinsip syariah, sehingga lebih banyak orang bisa menikmati layanan perbankan tanpa harus bertentangan dengan keyakinan mereka.

Ketika Bank Muamalat berdiri, semangat yang mengiringinya begitu kental dengan nilai dakwah. Para pendirinya tidak hanya berpikir soal laba, tapi ingin membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam bisa berjalan di tengah sistem kapitalistik. Namun seiring waktu, dinamika industri keuangan membuat bank syariah terjebak dalam arus komersialisasi.

Persaingan ketat dengan bank konvensional memaksa mereka mengutamakan efisiensi dan profitabilitas. Produk yang dihasilkan pun seringkali hanya "berbeda nama" namun mirip substansi. Skema murabahah (jual beli) misalnya, mendominasi lebih dari 60 persen pembiayaan perbankan syariah, sementara akad berbasis bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah justru menurun karena dianggap berisiko tinggi dan sulit diawasi.

Akibatnya, perbankan syariah sering kehilangan roh keadilannya. Padahal, sistem bagi hasil adalah ciri khas utama yang membedakan bank syariah dengan konvensional. Sistem ini mengandung semangat risk sharing, bukan risk transfer, dan mendorong kemitraan antara pemilik modal dan pengelola usaha. Sistem ini seharusnya mendukung usaha kecil dan menengah untuk tumbuh bersama.

Kecenderungan bank syariah untuk meniru model konvensional menyebabkan ia tampak "kurang membumi". Banyak pelaku UMKM masih kesulitan mengakses pembiayaan karena prosedur yang rumit, agunan yang tinggi, dan minimnya inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan sektor mikro. Akibatnya, mereka justru lari ke lembaga keuangan nonformal-bahkan pinjaman daring yang berisiko riba dan jeratan utang.

Pertanyaan kritis yang sering muncul adalah apakah bank syariah masih berpihak kepada umat? Dalam banyak kasus, jawaban ini tidak sederhana. Di satu sisi, bank syariah memang tumbuh dan berkontribusi positif terhadap stabilitas keuangan nasional. Namun di sisi lain, sebagian besar produk dan layanannya belum sepenuhnya mengarah pada pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil.

Porsi pembiayaan UMKM di perbankan syariah masih kecil, padahal potensi sektor ini sangat besar. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 97 persen lapangan kerja di Indonesia berasal dari sektor UMKM. Mereka adalah tulang punggung ekonomi umat-namun justru kelompok yang paling sulit mendapatkan pembiayaan yang adil dan berkelanjutan.

Bank syariah semestinya hadir untuk menutup celah itu. Dengan prinsip profit and loss sharing, pembiayaan syariah bisa menjadi solusi bagi usaha kecil yang kesulitan memenuhi syarat pinjaman konvensional. Dalam konteks ini, bank syariah seharusnya tidak hanya menjadi "bank yang tidak riba", tetapi juga "bank yang membebaskan" dari ketimpangan dan keterpinggiran ekonomi.

Selain pembiayaan, fungsi sosial bank syariah juga sering terlupakan. Melalui instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF), bank syariah sebenarnya memiliki peluang besar untuk mendorong inklusi keuangan berbasis solidaritas. Salah satu hal yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional ialah aspek sosial. Bank konvensional murni hanya fokus pada aspek bisnis, sedangkan bank syariah memiliki misi sosial yang diembannya.

Bank syariah tidak hanya fokus pada kenaikan jumlah aset, jumlah keuntungan, tingkat efisiensi, dan berbagai kinerja keuangan lainnya. Tetapi harus pula menampilkan berapa banyak dana sosial yang telah disalurkan baik yang berasal dari dana ZIS maupun dana sosial.

Sayangnya, sinergi antara fungsi komersial dan sosial ini masih lemah. Zakat dan wakaf sering berjalan di luar sistem perbankan, padahal keduanya bisa menjadi modal sosial untuk membangun ekonomi produktif bagi kelompok miskin.

Mewujudkan visi ekonomi umat tidak bisa dibebankan hanya kepada bank syariah. Ia harus menjadi bagian dari ekosistem yang terintegrasi antara lembaga keuangan, pemerintah, lembaga zakat, pesantren, dan masyarakat sipil.

Bayangkan jika bank syariah bersinergi dengan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) di tingkat lokal. BMT bisa menjadi jembatan antara masyarakat kecil dan sistem keuangan formal. Dana sosial seperti zakat dan wakaf dikelola untuk pemberdayaan, bukan sekadar konsumtif. Bank syariah menyediakan pembiayaan lanjutan bagi pelaku usaha yang sudah siap naik kelas. Inilah ekonomi bertingkat yang berkeadilan yaitu dari umat untuk umat.

Sinergi juga perlu dilakukan dengan sektor pendidikan dan pesantren. Pesantren kini telah berkembang menjadi pusat ekonomi baru melalui pesantrenpreneurship dan koperasi santri. Bank syariah bisa berperan sebagai mitra strategis dalam pendanaan, pendampingan bisnis, dan literasi keuangan syariah. Dengan begitu, ekonomi syariah tidak berhenti di ruang seminar, tapi hidup di tengah masyarakat.

Selain itu, peran digitalisasi sangat penting. Di era fintech dan ekonomi digital, bank syariah perlu tampil sebagai pemain utama yang inklusif dan adaptif. Layanan keuangan berbasis aplikasi, pembiayaan mikro digital, hingga platform crowdfunding syariah bisa menjadi jalan baru untuk memperluas akses umat terhadap sumber modal yang halal.

Dengan pendekatan ini, bank syariah tidak lagi terjebak pada model lama yang birokratis, tetapi menjadi lembaga yang gesit, efisien, dan dekat dengan kebutuhan masyarakat.

Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menjadi bank syariah benar-benar sebagai motor penggerak ekonomi umat. Pertama, Bank syariah harus berani menegaskan identitasnya bahwa bukan sekadar "bank tanpa bunga", tetapi lembaga dengan misi moral. Setiap keputusan bisnis harus mempertimbangkan aspek keadilan dan keberlanjutan sosial. Prinsip maslahah (kemaslahatan umum) harus menjadi tolok ukur utama, bukan hanya aspek keuntungan semata.

Kedua, meningkatkan pembiayaan produktif untuk UMKM. Sektor UMKM adalah basis ekonomi umat. Bank syariah perlu memperbesar portofolio pembiayaan produktif terutama dengan skema mudharabah dan musyarakah. Untuk mengatasi risiko, kolaborasi dengan lembaga penjamin syariah dan teknologi credit scoring berbasis data sosial-ekonomi bisa menjadi solusi.

Ketiga, integrasi dengan dana sosial Islam. Sinergi antara zakat, wakaf, dan perbankan syariah harus diperkuat. Dana sosial bisa menjadi sumber modal bergulir bagi program pemberdayaan ekonomi. Misalkan ada produk Zakat-based Financing bagi pelaku usaha ultra mikro.

Keempat, inovasi digital memungkinkan bank syariah menjangkau segmen yang selama ini terpinggirkan. Layanan perbankan berbasis mobile app dan fintech syariah harus diarahkan untuk inklusi, bukan hanya efisiensi. Teknologi bisa menjadi sarana dakwah ekonomi yang paling efektif di era kini.

Kelima, melakukan literasi dan edukasi keuangan syariah yang intensif. Banyak masyarakat masih belum memahami perbedaan mendasar antara sistem syariah dan konvensional. Karena itu, edukasi publik harus diperluas, terutama di kalangan muda dan pelaku usaha kecil. Literasi yang baik akan melahirkan loyalitas dan kepercayaan yaitu dua hal yang krusial bagi keberlanjutan bank syariah.

Keenam ialah membangun ekosistem bisnis syariah yang terpadu. Bank syariah tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian dari ekosistem bisnis halal mulai dari industri makanan, pariwisata, hingga energi dan teknologi. Dengan keterpaduan ini, visi ekonomi umat akan lebih mudah diwujudkan karena rantai nilai ekonominya saling menguatkan.

Pada akhirnya, visi ekonomi umat bukan hanya urusan bank, tapi urusan peradaban. Ia menuntut perubahan cara pandang terhadap harta, kerja, dan kesejahteraan. Islam mengajarkan bahwa kekayaan adalah amanah, bukan milik mutlak. Setiap transaksi ekonomi harus mengandung nilai ibadah dan keadilan.

Bank syariah bisa menjadi lokomotif menuju peradaban ekonomi baru jika berani keluar dari zona nyaman komersialisasi dan kembali ke misi awalnya yaitu membangun keadilan sosial. Dalam konteks Indonesia, peran ini sangat strategis. Ketika pemerintah mendorong kemandirian ekonomi dan pemerataan pembangunan, bank syariah dapat menjadi mitra utama untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan.

Visi ekonomi umat menuntut keberanian moral yaitu untuk menolak praktik yang menindas, untuk berpihak pada yang lemah, dan untuk mengedepankan kemaslahatan bersama. Itulah esensi ajaran Islam yang menjadi dasar lahirnya sistem keuangan syariah.

Bank syariah lahir bukan untuk menjadi "alternatif lembaga keuangan", tetapi untuk menjadi pelopor tatanan ekonomi yang lebih manusiawi. Bank syariah tidak hanya dituntut efisien dan kompetitif, tapi juga amanah dan adil.

Visi ekonomi umat harus terus dihidupkan agar bank syariah tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus pasar. Jika bank syariah mampu menggabungkan profesionalisme dengan nilai spiritual, efisiensi dengan empati, dan keuntungan dengan keberkahan, maka bukan tidak mungkin bank syariah akan menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi umat di abad ini.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |