Badai PHK dan Ujian Ketahanan Ekonomi Provinsi Jawa Timur

4 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sebuah kabar buruk tiba pada 1 Maret 2025 lalu. PT Sritex, perusahaan yang bergerak di bidang tekstil dan garmen terbesar di Indonesia, resmi tutup. Sebelum resmi tutup, perseroan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada lebih dari 10 ribu karyawan di seluruh Indonesia. Kasus tersebut merupakan satu kasus dari total ratusan kasus PHK sepanjang kuartal II tahun 2025.

Mengutip data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sepanjang periode Januari-Februari 2025 sebanyak 44.069 buruh telah menjadi korban PHK dari 37 perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut mencakup berbagai sektor, termasuk tekstil, elektronik, dan manufaktur.

Fenomena badai PHK ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara ASEAN lainnya juga mengalami nasib yang sama akibat perlambatan ekonomi global dan faktor lainnya.

Namun, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah PHK tertinggi di kawasan ASEAN. Dampak ekonomi yang mengerut pun semakin terasa, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2025 mencapai 4,89%, mengalami perlambatan dibandingkan kuartal I tahun 2024 yang mencapai 5,11%.

Ancaman Serius untuk Perekonomian Nasional
Badai PHK yang melanda Indonesia pada awal 2025 tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil kombinasi dari faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, perlambatan ekonomi global, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, menyebabkan penurunan permintaan ekspor dari Indonesia.

Hal tersebut berdampak besar terhadap sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik yang sangat bergantung pada pasar luar negeri. Selain itu, tren relokasi pabrik ke negara dengan upah buruh lebih murah, seperti Bangladesh dan Vietnam, juga memicu gelombang PHK.

Dari sisi internal, efisiensi perusahaan akibat digitalisasi, lemahnya daya beli masyarakat, serta ketidakpastian regulasi ketenagakerjaan seperti dampak lanjutan dari UU Cipta Kerja turut memperburuk situasi.

Jika melihat secara spasial, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan ada tiga provinsi dengan jumlah PHK terbanyak, yaitu Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau. Lalu pertanyaan besar pun muncul, bagaimana dengan Jawa Timur, sebagai daerah dengan PDRB terbesar kedua setelah Jakarta?

Provinsi Jatim yang dikenal sebagai salah satu pilar utama perekonomian nasional, dilansir dari Kajian Fiskal Regional Provinsi Jawa Timur tahun 2024, mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% (yoy) pada triwulan IV tahun 2024 dan secara kumulatif mencapai 4,93% sepanjang tahun 2024.

Industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi 30,85% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kinerja positif itu menjadikan Jatim sebagai provinsi dengan struktur ekonomi yang relatif kuat, meski badai PHK yang melanda berbagai daerah di Indonesia turut memberikan tekanan tersendiri.

Meskipun terdampak, kondisi ketenagakerjaan di Jatim menunjukkan sinyal perbaikan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun dari 4,88% pada Agustus 2023 menjadi 4,19% pada Agustus 2024, lebih baik dibandingkan banyak provinsi lain yang justru mengalami peningkatan pengangguran akibat PHK massal.

Namun, pemerintah Jatim tidak berdiam diri. Melalui Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2025, pemerintah provinsi menargetkan penurunan TPT lebih lanjut ke angka 3,90%-4,49% dan mengantisipasi efek domino PHK melalui peningkatan investasi sektor padat karya, perluasan pasar UMKM, serta revitalisasi pelatihan tenaga kerja berbasis digital dan green economy.

Pemerintah daerah dan pusat di Jatim juga telah mengoptimalkan kinerja fiskal daerah. Bersumber dari Kajian Fiskal Regional Provinsi Jawa Timur Triwulan IV bahwa realisasi pendapatan konsolidasi pemerintah pusat dan daerah di Jawa Timur sebesar Rp 307,98 triliun dan belanja daerah sebesar Rp 195,407 triliun pada 2024. Data itu menunjukkan kapabilitas fiskal untuk membiayai program perlindungan sosial dan pengembangan ekonomi lokal.

Selain itu, sektor pertanian dan pariwisata dijadikan tumpuan ketahanan daerah. Pemerintah mendorong pemanfaatan dana DAK fisik dan sinergi dengan kementerian/lembaga untuk pembangunan infrastruktur jalan, irigasi, dan ketahanan pangan sebagai jaring pengaman ekonomi masyarakat akar rumput.

Mampukah Jatim Menahan Badai PHK?
Dengan fondasi ekonomi yang kuat, pertumbuhan yang stabil, dan tingkat pengangguran yang menurun hingga 4,19% pada akhir 2024, Jatim tampaknya berada dalam posisi yang cukup siap menghadapi tekanan badai PHK nasional.

Sektor industri pengolahan, pertanian, serta geliat pariwisata menjadi pilar utama dalam menahan laju pelemahan ekonomi akibat tekanan eksternal. Tidak hanya itu, stabilitas fiskal dan surplus konsolidasian senilai Rp 140,97 triliun juga memberi ruang fiskal untuk melakukan respons adaptif jika situasi memburuk.

Namun, ketahanan ekonomi tidak bisa hanya ditopang oleh pemerintah saja. Ke depan, Pemprov Jatim perlu memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak: asosiasi industri, lembaga pelatihan kerja, universitas, sektor perbankan, hingga platform digital.

Penyerapan tenaga kerja baru harus berbasis pada transformasi ekonomi hijau dan digital-dua sektor masa depan yang mampu menyerap tenaga kerja secara berkelanjutan. Sementara itu, untuk sektor-sektor rentan seperti tekstil dan manufaktur padat karya, kebijakan subsidi atau insentif fiskal untuk mempertahankan tenaga kerja harus diupayakan dengan serius.

Jatim memiliki modal ekonomi internal yang sangat menjanjikan: lumbung pangan nasional, penyumbang kedua PDRB terbesar di Indonesia, pusat logistik Jawa bagian timur, dan ekosistem UMKM yang besar. Semua itu menjadi kekuatan endogen yang tidak dimiliki semua provinsi.

Tapi apakah itu cukup untuk menahan badai PHK yang sifatnya sistemik dan nasional? Apakah Jatim akan tetap kokoh jika badai ini berkepanjangan hingga 2025? Pertanyaan itu masih menggantung.

Kesimpulannya, pemerintah Indonesia secara nasional harus melihat fenomena PHK ini bukan hanya sebagai urusan korporasi, tetapi sebagai isu struktural ekonomi. Langkah ke depan yang perlu diambil antara lain adalah: menyusun peta jalan restrukturisasi sektor padat karya, mempercepat pelatihan kerja berbasis teknologi, menciptakan skema jaring pengaman sosial yang tangguh, serta memberikan insentif fiskal berbasis penciptaan lapangan kerja.

Tanpa itu, bukan hanya Jatim yang akan terdampak, tapi stabilitas sosial-ekonomi nasional secara keseluruhan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |