Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kembali melesat lebih dari 5% dalam sepekan, didukung sentimen dari Indonesia - Australia, meskipun ada penurunan permintaan dari India dan China.
Merujuk data Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak dua bulan pada penutupan perdagangan Kamis kemarin (5/6/2025) terpantau menguat 1,11% dalam sehari ke posisi US$ 109 per ton.
Apresiasi harian tersebut mengakumulasi penguatan dalam empat hari perdagangan di pekan ini sebanyak 5,52%.
Salah satu pendorong harga batu bara datang dari Indonesia yang telah merilis peta jalan energi untuk periode 2025-2034 yang menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 60 gigawatt (GW).
Sebagian besar memang berasal dari sumber energi terbarukan seperti surya, hidro, dan panas bumi. Namun, rencana ini juga mencakup penambahan 6 GW dari pembangkit listrik tenaga batu bara, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai komitmen Indonesia terhadap transisi energi bersih.
Kendati pemerintah telah melarang pembangunan pembangkit batu bara baru sejak 2022, pengecualian diberikan untuk proyek-proyek yang sudah direncanakan sebelumnya dan untuk sektor-sektor strategis seperti pengolahan nikel. Hal ini menunjukkan bahwa batu bara masih memainkan peran penting dalam strategi energi nasional, terutama untuk mendukung industri-industri kunci.
Para ahli menekankan bahwa untuk mencapai target net-zero emisi pada 2050, Indonesia perlu melakukan reformasi kebijakan yang signifikan dan meningkatkan investasi dalam infrastruktur energi terbarukan.
Saat ini, energi terbarukan menyumbang sekitar 13% dari total bauran energi nasional, jauh dari target 23% pada 2025. Kendala utama termasuk subsidi bahan bakar fosil, regulasi yang tidak mendukung investasi swasta, dan ketergantungan pada batu bara untuk sektor-sektor strategis.
Dengan demikian, meskipun Indonesia menunjukkan niat untuk beralih ke energi hijau, implementasi rencana tersebut masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menarik investasi untuk energi terbarukan.
Sementara itu, dari salah satu perusahaan tambang batu bara besar di Australia, Whitehaven, mencatat bahwa cuaca buruk menghambat aktivitas ekspor baru-baru ini.
Karena itu pasokan baru masih terbatas, ekspor batu bara kokas dari Australia dan AS diperkirakan akan melambat pada tahun 2025, ungkap Sylvia Cao, analis utama di Commodity Insights.
Penurunan produksi di Australia, kemudian demand yang masih tinggi dari Indonesia membuat harga batu bara terkerek naik pada pekan ini.
Meski demikian, harga kontrak batu bara telah turun hampir 20% sepanjang tahun ini, seiring meningkatnya porsi pembangkitan listrik dari sumber energi terbarukan dan menurunnya permintaan dari India dan Tiongkok.
Output listrik Tiongkok dari bahan bakar fosil turun 4,7% secara tahunan (yoy) pada kuartal pertama tahun ini , mendorong impor batu bara termal turun 13,1% yoy menjadi 91,5 juta ton hingga April tahun ini.
India, yang merupakan importir terbesar kedua batu bara dunia mengalami penurunan pemakaian batu bara pada pembangkit listrik tercepat dalam lima tahun terakhir untuk periode Mei 2025. Sejalan dengan itu, pembangkit listrik energi terbarukan di India mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Dari sisi pasokan, produksi batu bara Indonesia mencapai rekor 836 juta ton tahun lalu, melampaui target awal sebesar 18%, meskipun meningkatnya investasi dalam sumber energi alternatif membatasi permintaan terhadap batu bara termal.
Selain itu, Tiongkok berencana meningkatkan produksinya sebesar 1,5% menjadi 4,82 miliar ton tahun ini, setelah mencatat rekor produksi pada tahun 2024.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)